IQNA

Menilik Kecintaan Para Pemuka Ahlusunah Terhadap Ahlulbait (As)

9:25 - August 31, 2014
Berita ID: 1444784
Dalam pemikiran para imam mazhab empat Ahlisunah, pengabdiaan dan kesetiaan terhadap Ahlulbait Nabi (Saw) tidak dapat dipungkiri oleh siapapun, namun bagaimanakah munculnya insiden yang mengharamkan segala bentuk penziarahan makam dan membolehkan penghancuran pusara-pusara para Imam (As) serta mewajibkan penumpahan darah orang-orang Syiah?

Menurut laporan IQNA, dalam sejarah pemikiran dan fikih Islam, yang biasanya banyak ditulis oleh orang-orang Ahlisunah, adalah argumentasi-argumentasi yang berkenaan dengan hal ini, yaitu: Apakah kecintaan terhadap Ahlulbait (As) dan bertawassul kepada mereka sesuai dengan ajaran-ajaran Al-Quran Al-Karim dan sunnah nabawi ataukah tidak? Apakah tindakan ini dikategorikan sebagai hal syirik dan meminta selain Allah (swt) ataukah tidak? Apakah ziarah kubur para Imam (As) dan sahabat Rasulullah (Saw) adalah syirik ataukah sebuah ekspresi pengabdian dan kecintaan terhadap mereka?
Namun, topik ini di masa lalu tidak hanya dipaparkan di kalangan para ulama besar dan di tempat-tempat ilmiah. Pada abad-abad terakhir, dikarenakan munculnya sebagian pemikiran ekstrimis dalam pemikiran Islam dan secara jelasnya bersamaan dengan penyebaran pemikiran Wahabi dengan kemajuan media pembahasan semacam ini telah keluar dari ranah keahlian para ulama dan masuk dalam ranah umum.
Ringkasan ini bukan dalam rangka menjawab pandangan dan membuktikan atau menolak keabsahan dan klaiman masalah ini. Adapun yang akan kami isyaratkan dalam analisis ini adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti: Apa pendangan para pemuka Ahlisunah  tentang Ahlulbait (As)? Bagaimanakah kedudukan Ahlulbait (As) dalam mazhab Ahlisunah? Apakah dalam keyakinan para imam Ahlisunah, tawassul dan pengekpresian kecintaan terhadap Ahlulbait (As) diperbolehkan ataukah hal itu dikategorikan sebagai perbuatan tercela? Apa opini mereka dalam hal ini?
Banyak sekali ucapan dalam ranah ini, di antaranya adalah analisis-analisis yang menyebabkan pengkafiran Syiah dan sebagian media dalam rangka menyemarakkan hal tersebut. Demikian juga klaim-klaim berlebihan mengenai Ahlulbait (As) yang ditentang oleh mayoritas para ulama Syiah dan Ahlisunah, dan adapun yang kami usahakan untuk kami ulas realitasnya bukanlah pemikiran yang marak dalam ranah umum, akan tetapi pemikiran pokok para pemimpin Ahlisunah dan tokoh-tokoh yang terpaparkan di era awal Islam. Yakni merujuk kepada sumber dan mata air asli dan menanyakan opini mazhab-mazhab Islam dari para perintis.
Adapun yang menjadi sebab dari kajian masalah ini adalah komentar-komentar terbaru Ali Juma’ah, Mantan Mufti Mesir, yang mana di antara upaya beberapa media untuk memperdalam kesenjangan dan permusuhan antar mazhab-mazhab Islam, membeberkan sikap baru tentang akidah pokok Ahlisunah dan perspektif mereka terhadap Ahlulbait (As). Mengumumkan Sebuah keyakinan sebagaimana yang telah diumumkan oleh para pemuka seperti Syekh Syaltut, mantan Syekh al-Azhar dan dalam sebuah sikap bersejarah mengenai mazhab Syiah secara resmi dan mengeluarkan fatwa pembolehan beragama terhadapnya dari pihak kaum muslimin.
Ali Juma’ah (24/8/2014), dengan berpartisipasi dalam program “Wallah ‘A’lam” jaringan satelit “CBC” Mesir, megatakan, “Menyentuh (ziarah) makam sahabat dan para wali shalih Ilahi tidak dikategorikan sebagi syirik kepada Allah (swt).”
“Ziarah kubur para aulia Allah adalah tanda kecintaan dan pengabdian dan tidak ada kaitannya dengan syirik,” tambahnya saat menghardik orang-orang yang mengharamkan menyentuh kubur.
Ali Juma’ah menegaskan, “Kalimat “Madad ya Husein” juga bukanlah kesyirikan terhadap Allah (swt) dan pengucap tersebut adalah seorang muwahhid dan menghendaki doa dengan kalimat ini, maka ini bukanlah syirik.”
“Para wali dan orang-orang shalih mendengar doanya orang-orang yang telah bertawassul kepada mereka,” tegas Mantan Mufti Mesir.
Tentunya, keutamaan Ahlulbait Nabi (Saw) di samping dinukilkan dari buku-buku tangan pertama Ahlisunah, seperti “Shihah Sittah”, “Musnad Ahmad bin Hanbal” dari buku-buku hadis muktabar Ahlisunah, sebagian dari para pemuka Ahlisunah hendak mempunyai buku-buku khusus yang mereka tulis perihal Ahlulbait (As) dan riwayat-riwayat tentang mereka.
Bahkan sebagian dari para pemuka Ahlisunah modern langsung mencari biografi para imam dua belas (As) dan menjelaskan keutamaan, manaqib, dan keistimewaan-keistimewaan mereka. Orang-orang seperti Kamaluddin Muhammad bin Thalhah Syafi’i (wafat 652 H) dalam buku “Al-Su’al fi Manaqibi Ali al-Rasul”, Ibn Shabagh Maliki (wafat 855 H) dalam buku “Al-Fushul al-Muhimmah fi Ma’rifah Ahwal al-Amimmah”, Syamsuddin Muhammad bin Thulun (wafat 953 H) dalam “Al-Syadzarat al-Dzahabiyyah fi Tarajum al-Aimmah al-Itsna ‘Asyariyyah ‘Inda al-Imamiah”, demikian juga Hamdullah Mustaufi (wafat pertengahan pertama abad 8) dalam “Tarikh Guzideh” dan Muhyi Lari (wafat pertengahan pertama abad 10) dalam karya baitnya “Futuh al-Haramain” disamping mencantumkan para khalifah empat juga para imam dua belas (As).

Ahlulbait (As) Menurut Imam Syafi’i
Kalau kita membaca sajak puisi imam Syafi’i (salah seorang pemimpin Ahlisunah pada abad kedua Hijriah), kita akan sampai pada syair-syair sanjungan Ahlulbait (As), yang barang kali tidak ada sanjungan sepertinya dalam periode Syiah.
Muhammad bin Idris Syafi’i, yang terkenal dengan Imam Syafi’i adalah salah satu pemimpin Ahlisunah yang hidup pada abad kedua Hijriah. Ahlulbait (As) memiliki kedudukan khusus dalam syair-syairnya imam Syafi’i, yang akan menarik bagi setiap pembacanya. Dalam syairnya yang disenandungkan untuk Ahlulbait (As), setelah memuji keluarga Rasulullah (Saw) dan mengekspresikan kecintaan terhadap mereka, dia menganggap kecintaan terhadap mereka adalah kewajiban dari pihak Allah (swt) dan Al-Quran dan menyerukan kesemuanya untuk menghormati, menghargai, dan menilai Ahlulbait (As), sampai-sampai tidak mengirimkan shalawat terhadap keluarga Muhammad (Saw) dalam shalat dianggap membatalkan shalat seseorang.
Syair imam Syafi’i adalah sebagai berikut:
Ya Ala Baiti Rasulillah Hubbukum  Faradhun min Allah fi Al-Qurnai Anzalah
Kafakum min ‘Adzim al-Qadri Annakum  Man Lam Yushalli ‘ Alaikum La Shalata Lah
Wahai Ahlulbait Rasulullah! Cinta kepada kalian adalah kewajiban yang diturunkan Allah dalam Al-Quran
Cukuplah bagi kalian kedudukan yang tinggi, bahwa tiada shalat bagi orang yang tidak  bershalawat kepada kalian.
Imam Syafi’i berkenaan dengan kecintaan Imam Ali (As) mengatakan:
Qaluu: Taraffadhta, qultu: Kalla   ma al-Rafdhu Dini wa La I’tiqadi
Lakin Tawallaitu Ghaira Syakkin   Khaira Imamin wa Khaira Hadi
In Kana Hubbu al-Wali Rafdhan  Fainnani Arfadh al-‘Ibadi
Mereka berkata: Engkau adalah Rafidhi (pembangkang) dan seorang murtad, saya berkata: Sama sekali tidak, Rafidhi bukanlah agamaku dan bukan pula keyakinanku
Namun tanpa ragu aku berwilayah kepada sebaik-baik Imam dan sebaik-baik penunjuk.
Jika kecintaan kepada sang pemimpin (Ali as) adalah Rafidhi, maka sesungguhnya aku adalah paling pembangkangnya seorang hamba.

Sanjungan Penyair Khalifah Bani Umayyah Mengenai Hak Imam Ali bin Husein (As)
Penyair khalifah Bani Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik, memiliki sanjungan puisi madah untuk menyanjung Imam Ali bin Husein (As), yang mana banyak sekali para sastrawan kontemporer Ahlisunah menganggapnya sebagai syair terindah dalam sejarah syair Arab.
Tidak diragukan lagi, khalifah Bani Umayyah, penyair dan pembantunya tidak berkeyakinan Syiah, dan jika kita dalam rangka mengulas tendensi mazhab mereka, maka sudah pasti mereka lebih dekat dengan keyakinan Ahlisunah dibandingkan dengan Syiah. “Farazdak”, Penyair Hisyam bin Abdul Malik tidak dapat mengekspresikan pengabdian dan kecintaannya kepada Imam Ali bin Al-Husein (As) dihadapan khalifah Bani Umayyah secara terang-terangan. Dengan demikian, dia melantunkan syair populernya dalam menyanjung mereka.
Saat musim haji, Hisyam bin Abdul Malik, saudara Walid bin Abdul Malik hendak berhaji dan dengan beberapa jemaah mereka memasuki Masjidul Haram. Hisyam berniat, namun dikarenakan kepadatan, dia tidak mampu melakukan thawaf. Dengan demikian dia terpaksa pergi  menepi, dengan harapan barangkali kepadatan tersebut akan berkurang. Sewaktu mengawasi thawafnya orang-orang, seketika itu juga imam Sajjad (As) ikut masuk. Ketika beliau masuk, kepadatan masyarakatpun berkurang dan masyarakatpun membukakan jalan untuk imam Sajjad (As).
Dalam kondisi ini, salah satu rombongan Hisyam bertanya kepadanya, siapakah dia? Yang mana masyarakat sedemikian menghormatinya. Hisyam berpura-pura tidak mengenal beliau dan berkata, saya tidak mengenalnya. Seketika itu juga, Farazdak yang ikut serta berteriak lantang: Aku mengenalnya. Dia menyanjungkan qasidah dalam al-Bidahah (kenyataan) untuk beliau, Yang mana qasidah yang sangat indah ini mengabadikan dirinya. Qasidah ini terdiri dari 30 bait, yang mana bait-baitnya adalah sebagai berikut:
Hadzaal Ladzi Ta’rifu al-Bathha’ Wathatuhu
(Inilah, tanah wahyu dan kenabian yang mengenal langkah-langkahnya)
Wa al-Bait Ya’rifuhu wa al-Hil wa al-Haram
(Demikian juga Rumah Allah dan daerah tanah halal dan tanah haram mengenalnya)
Hadza Ibnu Khairi ‘Ibadillah Kulluhum
(Ini adalah putra sebaik-baiknya hamba Allah secara keseluruhan)
Hadza al-Taqi al-Naqi al-Thahir al-‘Ilm
(Ini adalah seorang yang bertaqwa, yang bersih, yang suci, dan yang pintar)
Hadza Ibnu Fathimah in Kunta Jahilah
(Ini adalah putra Fatimah (As), jika engkau tidak mengetahuinya)
Bi Jaddihi Anbiyaullah Qad Khatamu
(Dan dengan kakeknya, Allah (swt) telah mengakhiri kenabian para nabi-Nya)
Wa Laisa Qauluka Min Hadza Bidhairih
(Engaku bertanya dengan klaim ketidaktahuanmu, gerangan siapakah dia? Tidak akan mengurangi dirinya)
Al-Arab Ta’rifu Man Ankarat wa al-‘Ajam
(Karena Arab dan Ajam telah mengenal siapa yang mengingkarinya).

Ahlulbait (As) Menurut Abu Hanifah Al-Nu’man
Abu Hanifah Nu’man bin Thabit bin Marzban Zuthi lahir pada tahun 80 H di Kufah dan  keluarganya berasal dari kota Kabul. Banyak sekali riwayat-riwayat Abu Hanifah yang juga menunjukkan akan hubungan kecintaan Abu Hanifah dengan Imam Shadiq (As). Dituturkan dalam “Jami’ al-Masanid” Abu Hanifah: suatu hari Abu Hanifah mendatangi Imam Shadiq (As) pada musim haji dan Imam pun memeluk dan mendekapnya serta menanyakan tentang kondisi dan keluarganya. Salah seorang bertanya, apakah engkau mengenal orang ini? imam menjawab, saya bertanya tentang kondisi dan keluarganya dan kamu bertanya apakah kamu mengenalinya? Ini adalah Abu Hanifah, paling fakihnya orang di kotanya. Dalam riwayat yang lain, salah seorang mendekati Abu Hanifah dan berkata, saya bernazar akan memberikan sejumlah uang kepada imam yang adil. Menurutmu kepada siapakah uang ini aku berikan? Abu Hanifah berkata, jika engkau ingin mengenal imam yang adil dan engkau memberikan harta bendamu kepadanya, maka berikanlah kepada Ja’far bin Muhammad (As).

Hadis-hadis Ahlisunah Berkenaan Dengan Imam Ridha (As)
Syekh Yasin bin Ibrahim Sanhuti Syafi’i mengatakan, “Imam Ali bin Musa al-Ridha (As) termasuk pemuka dan termasuk silsilah terbaik dan Allah dengan menciptakan orang semacam ini telah memamerkan kemampuan-Nya. Tidak ada seorangpun yang bisa memahami Ali bin Musa (As). Kedudukan beliau sangat tinggi, keutamaannya populer dan banyak sekali karomahnya.”
Demikian juga Abul Fauz Muhammad bin Amin Baghdadi Suwaidi mengatakan, “Beliau lahir di Madinah al-Munawwaroh, karomah beliau sangatlah banyak dan keutamaan beliau sangatlah popular, yang mana pena tidak akan mampu mensifati kesemuanya.”
Begitu pula Abbas bin Ali bin Nuruddin Makki berbicara mengenai karomah beliau, “Keutamaan Ali bin Musa (As) tidak memiliki batasan.”
Di akhir harus ditanyakan, dengan adanya semua kecintaan para pemuka Ahlisunah terhadap Ahlulbait (As), lantas bagaimanakah hari ini muncul gerakan yang mengharamkan segala bentuk penziarahan kubur, membolehkan penghancuran pusara-pusara para imam (As), dan mewajibkan penumpahan darah orang-orang Syiah?
Dan dari sisi lain, juga jika kita berfikir dengan baik, pertanyaan ini harus dipaparkan, kenapa masyarakat umum Syiah selalu menganggap beda dengan Ahlisunah dalam masalah kecintaan terhadap Ahlulbait (As), seolah-olah sebagian dari para pendahulu kita selalu berfikir bahwa Ahlisunah adalah musuh Ahlulbait (As). Apakah kesenjangan sejarah di kalangan antar mazhab Islam ini adalah suatu fenomena baru ataukah memiliki akar realita yang lain?
Adapun yang dipaparkan dalam catatan ini, menunjukkan dengan baik bahwa pengabdian dan kecintaan terhadap Ahlulbait (As) adalah bagian dari pemikiran Islam dan tidak hanya khusus milik Syiah semata. Akidah yang muncul di era sekarang ini yang membahas tentang kebencian terhadap Ahlulbait (As), apa hubungannya keyakinan ini dengan keyakinan para imam Ahlisunah dan pemikiran para pemuka Syiah? Keyakinan semacam ini harus dianggap sebagai sebuah pemikiran yang jauh dari pokok dan akar Islam, yang sama sekali tidak memiliki kedudukan apapun di sisi para pemuka agama.

1443704

captcha